Jadi dokter bedah memang tidak cukup memerlukan kepandaian di bidang ilmunya dan ketrampilan untuk kerjanya, tapi juga butuh ketahanan mental. Setidaknya kegagalan itu yang dialami seorang dokter bedah orthopedi terkenal di Inggris, Dr. Alexander Reading, yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri ketika menghadapi kenyataan hasil operasi yang dikerjakan tidak sesuai dengan harapan. Baca berita di Tempo di sini.
Tingkat kesalahan atau error dalam suatu standar prosedur biasanya untuk sepersekian persen masih dapat diterima sesuai kesepakatan. Begitu juga dengan hasil atau outcome dari prosedur itu. Sebab manusia bukanlah mesin, sehingga faktor x-nya perlu mendapat toleransi. Dan kembali ke teknik dalam pembedahan, style dokter bedah bisa juga menentukan kesempurnaan hasil operasi yang dikerjakan. Dengan demikian, terlepas dari karakter dokter bedah itu sendiri, terhadap hasil pembedahan yang tidak sesuai harapan semestinya tidak perlu disikapi dengan cara-cara yang ekstrem.
Pada kenyataannya, hal-hal yang sering mengganggu seorang dokter bedah adalah justru ketidakyakinannya terhadap hasil pembedahan yang telah dia kerjakan. Ini terutama untuk kasus kasus atau kondisi tertentu yang muncul dan didapatkan tidak sesuai prediksi di saat berlangsungnya pembedahan. Namun demikian ada beberapa cara untuk meminimalisir kekhawatiran tersebut. Ada dengan cara mengerjakan teknik antisipasinya, misal dengan pemasang drain pada areal operasi. Upaya lain bisa dengan mencari secound opinion dengan melibatkan sejawat lain di tengah-tengah berlangsungnya operasi. Dan yang terpenting adalah komunikasi seorang dokter bedah dengan pasiennya, apalagi dalam menghadapi hal-hal sulit yang kemungkinan akan merugikan pihak pasien.
Jadi, kembali pada kejadian yang dialami dokter di Inggris itu, sangat amat disayangkan seorang dokter bedah yang begitu terkenal, masih produktif dan kaya ternyata meninggal secara tragis oleh karena daya tahan mentalnya yang rapuh.
loading...
0 Response to "Ketahanan Mental Ahli Bedah"
Posting Komentar