Biaya kesehatan yang terus meroket membuat pemerintah mengeluarkan obat murah serba Rp 1.000 yang merupakan obat generik bagi kalangan masyarakat kelas bawah. Namun, kehadiran obat Rp 1.000 pada praktiknya tidak diindahkan oleh masyarakat. Bahkan obat-obat ini tertumpuk percuma di gudang perbekalan.
"Sekarang persediaan Obat 1000 masih sangat banyak di gudang, sementara dua tahun lagi expired (kedaluwarsa), " kata Abdul Chalik Masulili, Staf Ahli Menteri Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Senin (2/8/2010) di sela-sela seminar Kebijakan Obat Indonesia yang Masih Belum Memihak Pasien: Contoh Kasus Generik.
Yang mengkhawatirkan adalah kesinambungan program obat Rp 1.000 tersebut. "Obat 1000 itu kan dipaket yang terdiri dari obat panas, obat maag, obat diare, dan lain-lain. Yang diharapkan, masyarakat yang sakit bisa langsung sembuh. Logikanya, kami pikir akan laku, ternyata tidak," kata Abdul.
Program obat murah serba Rp 1.000 diluncurkan pada 2007 saat Siti Fadilah Supari menjabat sebagai Menkes. Program itu merupakan pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama dengan BUMN produsen obat PT Indofarma.
Abdul menjelaskan, kegagalan program obat murah ini dipicu dua hal, yaitu persepsi masyarakat yang menganggap obat generik tidak menguntungkan dan rendahnya biaya untuk sosialisasi kepada masyarakat.
"Pada Obat 1000, karena biayanya murah, tidak ada biaya untuk iklan. Yang ada hanya iklan di awal saja (2007), sekarang sudah tidak ada," kata Abdul.
Abdul menilai, dukungan masyarakat terhadap kehadiran obat generik ini pun masih minim. "Misalnya, di supermarket dan di warung, mereka (penjual) tidak mau jual karena dianggap tidak seksi (menguntungkan). Mereka lebih suka menjual obat yang bermerek, seperti Bodrex dan Decolgen, yang harga jualnya Rp 5.000 sehingga pedagang bisa dapat keuntungan 15 persen dari harga obat. Harga itu jauh dengan harga obat generik yang hanya Rp 1.000," katanya.
Menurut Abdul, Departemen Kesehatan sedang berupaya mentransfer obat tersebut ke daerah. Namun, upaya ini gagal. "Tadinya ingin kami distribusikan ke pembangunan kesehatan masyarakat di daerah, tapi terkendala distribusi yang lebih mahal dari harga obatnya," kata Abdul.
Senada dengan Abdul, Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Nasional Setiawan Soeparan menyatakan, "Obat generik (Obat 1000) adalah obat yang dikhususkan untuk masyarakat kelas bawah. Yang membuat adalah Indofarma, sementara untuk pemasarannya kami serahkan kepada mereka. Namun, tetap banyak yang tidak mau beli," kata Setiawan.
Menurut dia, apabila tidak bisa digunakan, maka Obat 1000 akan terbuang percuma. Dengan kata lain, program pemerintah meningkatkan kualitas kesehatan melalui program obat murah tidak berjalan secara efektif.
"Sekarang persediaan Obat 1000 masih sangat banyak di gudang, sementara dua tahun lagi expired (kedaluwarsa), " kata Abdul Chalik Masulili, Staf Ahli Menteri Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Senin (2/8/2010) di sela-sela seminar Kebijakan Obat Indonesia yang Masih Belum Memihak Pasien: Contoh Kasus Generik.
Yang mengkhawatirkan adalah kesinambungan program obat Rp 1.000 tersebut. "Obat 1000 itu kan dipaket yang terdiri dari obat panas, obat maag, obat diare, dan lain-lain. Yang diharapkan, masyarakat yang sakit bisa langsung sembuh. Logikanya, kami pikir akan laku, ternyata tidak," kata Abdul.
Program obat murah serba Rp 1.000 diluncurkan pada 2007 saat Siti Fadilah Supari menjabat sebagai Menkes. Program itu merupakan pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama dengan BUMN produsen obat PT Indofarma.
Abdul menjelaskan, kegagalan program obat murah ini dipicu dua hal, yaitu persepsi masyarakat yang menganggap obat generik tidak menguntungkan dan rendahnya biaya untuk sosialisasi kepada masyarakat.
"Pada Obat 1000, karena biayanya murah, tidak ada biaya untuk iklan. Yang ada hanya iklan di awal saja (2007), sekarang sudah tidak ada," kata Abdul.
Abdul menilai, dukungan masyarakat terhadap kehadiran obat generik ini pun masih minim. "Misalnya, di supermarket dan di warung, mereka (penjual) tidak mau jual karena dianggap tidak seksi (menguntungkan). Mereka lebih suka menjual obat yang bermerek, seperti Bodrex dan Decolgen, yang harga jualnya Rp 5.000 sehingga pedagang bisa dapat keuntungan 15 persen dari harga obat. Harga itu jauh dengan harga obat generik yang hanya Rp 1.000," katanya.
Menurut Abdul, Departemen Kesehatan sedang berupaya mentransfer obat tersebut ke daerah. Namun, upaya ini gagal. "Tadinya ingin kami distribusikan ke pembangunan kesehatan masyarakat di daerah, tapi terkendala distribusi yang lebih mahal dari harga obatnya," kata Abdul.
Senada dengan Abdul, Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Nasional Setiawan Soeparan menyatakan, "Obat generik (Obat 1000) adalah obat yang dikhususkan untuk masyarakat kelas bawah. Yang membuat adalah Indofarma, sementara untuk pemasarannya kami serahkan kepada mereka. Namun, tetap banyak yang tidak mau beli," kata Setiawan.
Menurut dia, apabila tidak bisa digunakan, maka Obat 1000 akan terbuang percuma. Dengan kata lain, program pemerintah meningkatkan kualitas kesehatan melalui program obat murah tidak berjalan secara efektif.
KOMPAS.COM
loading...
0 Response to "Wah... Obat "Serba Rp 1.000" Terancam Jadi Sampah"
Posting Komentar