Dunia tanaman obat kini kedatangan “pendatang baru” yang lumayan hebat. Mahkota dewa namanya. Ia bisa membuat penderita penyakit ringan macam gatal-gatal, pegal-pegal, atau flu, hingga penyakit berat seperti kanker dan diabetes, merasakan kesembuhan.
Istri saya sangat takut kesakitan ketika hendak melahirkan. Sampai-sampai satu jam sebelum melahirkan memohon kepada saya untuk diizinkan menjalani operasi caesar saja. Karena dokter tidak melihat ada hal-hal yang membuat operasi harus dilakukan, maka saya dengan sabar memberi pengertian kepadanya. Saya juga ceritakan pengalaman teman-teman yang pernah melahirkan dengan operasi atau secara alamiah.
Akhirnya persalinan dilakukan tanpa tindakan operasi. Saya temani dia di kamar bersalin. Tepat setelah anak lahir, istri saya menangis. Bukan lantaran tak tahan sakitnya, tetapi karena bahagia dan sangat bersyukur bisa merasakan bagaimana seorang ibu melahirkan secara alamiah. Ternyata sakit yang dirasakannya tertutup oleh kebahagiaan yang amat sangat. Setelah anak berusia enam bulan, ia sudah lupa rasa sakitnya. Bahkan, ia ingin segera punya anak lagi setelah satu tahun.”
Begitulah cerita seorang bapak dalam sebuah mailing list menanggapi kegusaran seorang calon ibu yang hendak melahirkan dalam beberapa bulan lagi. Mungkin sangat subjektif. Tapi paling tidak bisa menggambarkan proses persalinan merupakan proses alamiah yang tidak terhindarkan dari rasa nyeri. Di sisi lain, hak seorang calon ibu untuk melahirkan secara aman dan nyaman tetap harus mendapat perhatian. Maka berbagai upaya dilakukan untuk bisa memenuhi hak itu. Di antaranya dengan mengupayakan persalinan dengan rasa nyeri seminimal mungkin.
Penyebab nyeri persalinan
Calon ibu tadi bukanlah satu-satunya yang takut merasakan nyeri persalinan. Masih banyak wanita lainnya yang mengalami hal serupa. Sebagian dari mereka (terpaksa) pasrah dengan menjalani proses persalinan secara alami, sebagian lain (beruntung) bisa melahirkan dengan cara-cara yang “nyaman”. Jumlah (calon) ibu yang memilih bedah caesar (SC, sectio caesarea) pun meningkat. Alasannya, ya itu tadi, takut sakit saat melahirkan, di samping beberapa alasan lain.
Memang, dengan bedah caesar ibu tidak menderita pada saat melahirkan. Namun, ada “penderitaan” lain yang datang kemudian. Di antaranya, masa pemulihan dan masa penyembuhan luka operasi lebih lama ketimbang persalinan normal (per vaginam). Kekuatan rahim yang pernah dioperasi juga tidak akan menyamai rahim yang masih utuh (tanpa bekas operasi). Bila dipaksakan melahirkan dengan persalinan normal, kemungkinan terjadi robekan rahim cukup besar. Karenanya, ibu yang melahirkan melalui bedah caesar baru bisa hamil lagi setelah dua tahun, saat rahim dianggap sudah kuat kembali. Persalinannya pun dengan bedah caesar lagi. Selain itu, wanita yang telah melahirkan dengan cara ini oleh dokter kandungan di Indonesia cuma “diizinkan” menjalani bedah caesar maksimal tiga kali.
Menghadapi kecenderungan macam itu, sejumlah dokter spesialis anestesi, kebidanan dan kandungan, serta spesialis anak-perinatologi mencoba membahas penanggulangan nyeri persalinan dalam Kongres Nasional VI Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (Konas VI-IDSAI). Dalam konferensi pers setelah kongres, terungkap, nyeri sebenarnya bersifat subjektif, karena dipengaruhi pengalaman seseorang, budaya, dan lingkungan. Bagi sebagian wanita, nyeri persalinan sering kali melebihi dugaan mereka. Pada wanita yang pertama kali melahirkan, rasa nyerinya kira-kira mendekati nyeri amputasi jari akibat trauma. Statistik menunjukkan, nyeri ini tidak dapat ditoleransi oleh dua dari tiga wanita bersalin.
Nyeri yang dirasakan seorang ibu pada proses persalinan timbul karena kontraksi rahim serta pembukaan mulut/leher rahim dan bagian bawah rahim ketika kepala janin mulai turun (kala I atau kala pembukaan). Nyeri ini makin lama makin kuat dan sering.
Selanjutnya, ketika mulut rahim sudah terbuka penuh (kala II atau kala pelahiran), nyeri timbul akibat tekanan bayi terhadap struktur panggul diikuti dengan perobekan jalan lahir bagian bawah, peregangan dan pengguntingan daerah perineum (antara vulva dan anus). Nyeri ini terasa tajam dan panas, serta lebih intens dan lebih jelas lokasinya dibandingkan nyeri pada kala I.
Timbulnya nyeri-nyeri tersebut menyebabkan perubahan fisiologis tubuh berupa peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, perasaan gelisah dan cemas, yang selanjutnya dapat mengganggu konsentrasi ibu dalam menghadapi proses persalinan itu sendiri.
Mengurangi ketegangan
Nah, untuk mengurangi sebanyak mungkin rasa nyeri dalam proses persalinan, berbagai upaya pun dilakukan. Tercatat, sejak 1847, Sir James Simpson, seorang ahli kebidanan Skotlandia, menggunakan dietil eter pada persalinan normal di Universitas Edinburgh. Selanjutnya dietil eter digantikan oleh kloroform untuk menghindari bau menyengat dan efek mual muntah.
Secara umum mengatasi nyeri dapat dilakukan secara tanpa obat (misalnya hipnosis, pengaturan napas, akupunktur) atau dengan obat. Di bidang kedokteran dikenal teknik anestesi dan jenis obat-obat analgesia yang biasa digunakan. Untuk membantu persalinan, ada teknik analgesia epidural, analgesia spinal, dan gabungan kedua teknik itu. Cara lain adalah pemberian obat-obatan yang disuntikkan atau dimasukkan melalui selang infus langsung ke dalam pembuluh darah.
Teknik analgesia epidural mulai diperkenalkan di Jakarta pada tahun 1977. Sampai sekarang, teknik ini masih merupakan salah satu cara paling efektif untuk menanggulangi nyeri persalinan. Di Jakarta saja, sudah sekitar 5.000 kasus berhasil ditolong menggunakan teknik ini.
Menurut Dr. Med. M. J. Josoprawiro, SpOG., spesialis kebidanan dan kandungan dari RSCM/FKUI, dalam makalah yang disampaikan pada Simposium Penanggulangan Nyeri Persalinan di Jakarta, Juni lalu, bila dalam menghadapi persalinan diberikan analgesia epidural, seorang ibu akan bebas dari rasa nyeri persalinan sejak kala pembukaan (kala I) sampai penjahitan luka karena pengguntingan perineum. Selain itu, ibu akan berada dalam keadaan tenang, bebas dari rasa takut dan tegang (sindrom takut-tegang-nyeri) yang dapat mengakibatkan perlambatan bahkan kemacetan dalam proses persalinan. Dalam keadaan tenang, ibu bahkan dapat turut aktif berperan serta dalam proses persalinan dan mengikuti instruksi pimpinan persalinan dengan baik. Pemberian analgesia epidural bahkan telah terbukti dapat mempersingkat proses persalinan.
Analgesia epidural perlu sekali diberikan pada ibu-ibu hamil dengan preeklampsia dan eklampsia (gangguan dengan tiga gejala utama: darah tinggi, bengkak, dan adanya protein di urin), kelainan jantung, penyakit paru-paru, ginjal, dan hati. Secara fisiologis pemberian analgesia dapat menurunkan kebutuhan oksigen ibu, mengurangi kadar keasaman darah yang meningkat pada ibu dan janin, menstabilkan kerja jantung dan pembuluh darah, serta mengurangi curah jantung yang meningkat akibat nyeri persalinan sehingga beban jantung berkurang. Oleh karena itu, cara ini dapat dilakukan pada ibu-ibu dengan gangguan dan kelainan kardiovaskular.
Pada pasien-pasien tersebut, hilangnya rasa nyeri pada persalinan berkat analgesia epidural mencegah peningkatan tekanan darah lebih lanjut. Pasien dengan kelainan paru-paru tidak lagi takut dan tegang, sehingga dapat bernapas dengan tenang dan proses persalinan menjadi tidak begitu melelahkan. Akan tetapi, dokter anestesia harus siap di tempat untuk memantau dan melakukan tindakan pertolongan segera bila terjadi penyulit anestesi. Hal itu penting mengingat keadaan ibu sudah lemah dan komplikasi analgesia epidural yang cukup mengancam nyawa, seperti tekanan darah rendah dan kelumpuhan otot pernapasan. Ancaman lain yang cukup serius dari penggunaan analgesia regional adalah robeknya rahim akibat rasa sakit di bagian bawah rahim tidak terdeteksi, karena ibu dalam keadaan tidak merasakan nyeri.
Betapa pun hilangnya nyeri mengakibatkan ketegangan (stres) yang dialami ibu berkurang. Ini menguntungkan karena stres dapat mengakibatkan janin kekurangan oksigen dan dilepaskannya katekolamin yang
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke uterus. Sementara itu, hilangnya refleks mengejan pada setiap his pada kala pembukaan akan memperbaiki aliran darah uterus-plasenta, sehingga kebutuhan darah dan oksigen janin di dalam kandungan selama proses persalinan tetap tercukupi.
Pada bayi yang belum cukup bulan (prematur) penekanan pada kepala janin menjadi minimal karena relaksasi otot-otot daerah jalan lahir dan perineum. Perdarahan otak pun bisa dicegah. Selain itu, tenaga ibu untuk mengejan dapat diatur dengan tenang sesuai datangnya his.
Sebaliknya, analgesia epidural yang tidak terkontrol dapat melemahkan denyut nadi (bradikardi) akibat tekanan darah rendah (hipotensi) pada ibu. Janin akan mengalami kekurangan oksigen yang dampaknya mengenai pusat susunan saraf (otak).
Analgesia epidural kini lazim diberikan kepada ibu-ibu yang akan melakukan persalinan normal, bedah caesar maupun tindakan bedah lainnya. Keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya cara ini hanya seputar penolakan pasien, gangguan pembekuan darah, infeksi lokal di tempat suntikan, sirkulasi darah yang tidak stabil, dan infeksi umum. Pengaruhnya terhadap kemajuan proses persalinan masih diperdebatkan oleh dokter spesialis anestesi dan kebidanan, karena kalau letak janin abnormal proses persalinan pun jadi terhambat.
Efek sampingan obat-obat anestesi umumnya adalah mual dan muntah, yang dapat diatasi dengan pemberian obat antimual-muntah. Penyulit yang mungkin timbul berupa kekuatan mengejan berkurang. Jika kurang hati-hati dapat menyebabkan kejang menyeluruh dan kematian.
Gabungan spinal-epidural
Dewasa ini berkembang pula teknik analgesia spinal yang disebut ILA (Intrathecal Labor Analgesia). Teknik ini relatif lebih mudah dilaksanakan dan lebih murah dibandingkan dengan bedah caesar. Dengan teknik ini biaya persalinan dapat dihemat sampai 75%.
Penelitian Dr. Susilo, SpAnK., dari Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, terhadap 62 wanita di Jakarta yang melahirkan secara normal dengan teknik ILA menunjukkan, nyeri selama persalinan dapat diatasi cukup baik. Pada penelitian juga tidak didapatkan efek sampingan pada ibu maupun bayi yang dilahirkan.
Pada teknik ini obat anestesi disuntikkan di ruang intratekal, yaitu sebuah ruang di dalam sumsum tulang belakang, tempat lewatnya serabut saraf spinal yang berperan dalam merasakan sensasi nyeri tersebut. Selanjutnya, obat akan memblok saraf nyeri. Namun kini telah ditemukan obat anestesi lokal baru yang memungkinkan hanya saraf rasa nyeri yang dihambat, sementara saraf motorik tetap bekerja. Keunggulannya, dengan cara ini ibu tetap dapat merasakan gejala peregangan ketika bayi akan keluar, namun tidak merasakan nyeri selama proses peregangan dan kontraksi persalinan.
Secara teoritis, cara ini lebih mudah dibandingkan dengan teknik analgesia epidural dan langsung bekerja pada serabut saraf spinal. Jarum yang digunakan lebih kecil daripada jarum untuk analgesia epidural, yakni sebesar jarum suntik untuk imunisasi BCG pada bayi. Selain itu, dosis obat yang digunakan lebih kecil dan efek analgesinya merata. Efek sampingan yang mungkin timbul adalah gatal-gatal, mual, muntah, rasa mengantuk, gemetar, retensi urin, hipotensi, dan bradikardi (denyut nadi lambat).
Dalam mengatasi nyeri persalinan, analgesia spinal memiliki kekurangan yakni hanya digunakan pada awal kala I dan karena masa kerjanya terbatas (12 jam) cara ini kurang efektif untuk persalinan yang lama. Di sisi lain, analgesia epidural sebagai anestetik lokal memiliki kekurangan, terutama baru menimbulkan efek paling tidak setelah 10 menit. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, ada kalanya teknik analgesia spinal dan epidural dijalankan secara bersama-sama.
Dibandingkan dengan analgesia epidural, teknik gabungan ini lebih cepat kerjanya dengan kualitas analgesia lebih baik, dosis awal dan total lebih kecil, penghambatan saraf sensorik (indera) bersifat selektif, sementara terhadap saraf simpatis dan motorik penghambatannya minimal, sehingga tidak mengganggu mobilisasi. Analgesia gabungan dapat dilakukan sejak awal kala I sampai dengan akhir kala II.
Namun, karena masing-masing teknik ada kelebihan dan kekurangannya, secara umum tidak dapat disimpulkan teknik mana yang paling baik. Setiap teknik memiliki indikasi tersendiri. Yang perlu diingat, sebelum dilakukan tindakan dengan teknik mana pun, mintalah penjelasan dan pertimbangan dari dokter khususnya dokter spesialis anestesi yang akan melakukan, mengenai indikasi, efek sampingan, dan tindakan apa yang akan dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.
“Setiap tindakan medis ada risikonya. Untuk itu perlu adanya informed consent. Setiap tindakan anestesi harus didukung alat-alat yang memadai untuk memantau kesejahteraan ibu dan janin,” pesan dr. Indro Mulyono, SpAnKIC, dari Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM.
Dengan teknik dan obat analgesia yang tepat yang diberikan sesuai dengan indikasi, para ibu atau calon ibu yang ingin melahirkan secara spontan dan normal tidak perlu takut lagi terhadap nyeri persalinan dan tidak perlu lagi terdengar jeritan ibu di kamar bersalin.
loading...
0 Response to "Persalinan Sekarang Takkan Sesakit Dahulu"
Posting Komentar